Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
| Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi |Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung |Kata Perenungan |



Oase di Muara Angke

Dari kejauhan, bentuk bangunannya terlihat sangat menonjol dibandingkan dengan bangunan di sekitarnya. Bangunan tersebut berdiri megah dan berjejer berwarna abu-abu gelap, sedangkan bangunan di sekitarnya adalah tempat penjemuran ikan dan bangunan-bangunan semi permanen yang kedaannya memprihatinkan. Kehadirannya bagaikan oase. Oase bagi Muara Angke, Jakarta Utara yang lebih didominasi gambar-gambar buram kehidupan. Bila malam menjelang, bangunan tersebut akan memperlihatkan keanggunannya karena dibaluri sorot lampu yang memancar dari jendela-jendela.

Paduannya dengan danau payau yang berbatasan langsung dengan laut di depannya, menghasilkan kombinasi yang menakjubkan. Para penghuninya mungkin tak pernah mengira mereka bisa menempati tempat yang memancarkan keindahan seperti itu.

Di dalamnya, bersemi harapan baru para nelayan eks-penghuni bantaran Kali Adem. Bangunan tersebut adalah Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi, yang dibangun diperuntukkan bagi mereka setelah tempat tinggal mereka digusur pemerintah DKI pada tanggal 22 Oktober 2003. Mereka sempat terdampar di pemukiman sementara di Kampung Neas, di muara Kali Adem. Di atas empang yang airnya hitam dan bau, mereka membangun tempat tinggal sementara. Selama hampir 2 tahun mereka tinggal di sana , sebelumnya akhirnya pindah ke Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi tanggal 26 Juni 2005 lalu.

 

“Saya Pikir Hanya Rumah Triplek”

Bagi Muniroh, salah satu eks-penghuni bantaran Kali Adem, meski sering mengalaminya, penggusuran tetap merupakan momok yang mengerikan. Sejak kecil, Muniroh akrab dengan penggusuran. Waktu itu umurnya baru 7 tahun, ia dan orangtuanya tinggal di Ancol. “Ma, kita mau kemana?” “Kita mau dapat rumah baru lagi. Tempat ini mau ditempati orang,” mamanya menghibur. “Ma, kita mau ke mana?” Muniroh kecil tetap merengek. “Kita mau pindah ke Muara Angke.” Muniroh menetap di Muara Angke cukup lama, sekitar 25 tahun. Ia menikah dan dibawa pindah suaminya ke Sunter, Jakarta Utara. Di Sunter mereka juga digusur, sehingga pindah ke rumah ibunya di Kali Adem. “Kalau disakiti terus pasti nangis,” kenangnya.

Sebelum digusur tanggal 22 Oktober 2003, para warga bantaran Kali Adem memang sempat 3 kali diberi surat pemberitahuan. Waktu itu Muniroh sedang hamil 3 bulan dan kondisi kesehatannya sedang buruk. Ibu-ibu tetangganya malah menunjuknya menjadi pemimpin menentang penggusuran tersebut. Tiga hari menjelang Ramadhan, jam 11 siang, buldoser mulai beraksi. Ketika itu Muniroh tidak bisa berbuat apa-apa karena sedang di puskesmas membawa beberapa anak yang sedang sakit. Ketika pulang, tempat tinggalnya telah rata dengan tanah. Ia pun hanya bisa meratapinya. Itu adalah penggusuran ketiga yang pernah dialaminya sepanjang hidupnya. “Rasanya sakit,” jawabnya ketika ditanya bagaimana rasanya digusur.

Tapi kini mimpi buruk Muniroh telah berakhir. Sebuah unit rumah yang layak dan nyaman di Perumahan Cinta Kasih Muara Angke kini berhak ia tinggali. “Usai digusur, kami selalu dijanjikan akan diberi tempat tinggal, tapi tak pernah terwujud. Sekarang Tzu Chi telah mewujudkan impian saya,” tuturnya membuka memorinya. “Waktu mendengar bahwa kami akan mendapat tempat tinggal sebagai pengganti, saya membayangkan paling hanya sebuah triplek, tapi ternyata jauh dari yang saya bayangkan. Ternyata rumahnya sangat bagus dan sangat manusiawi, serta perabot rumah telah disediakan dengan lengkap seperti ranjang tidur, lemari pakaian dan meja makan lengkap dengan kursinya,” Muniroh bercerita dengan berbinar-binar. Ia kini menempati salah satu unit di blok E bersama Soyat (36 tahun), suaminya dan dua anaknya, Aida Agustiani (6 tahun) dan Abdul Lukman Hakim, sedangkan anak sulungnya, Nanang Saeful (10 tahun) tinggal di kampung halaman di Garut.

 

“Saya berjanji akan berbuat hal yang sama untuk dapat membantu orang lain di kemudian hari sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah kami terima,” ucapnya sambil tak kuasa membendung air matanya. Kini ia sering terlibat sebagai relawan dalam kegiatan-kegiatan di perumahan tersebut. Salah satunya adalah dengan mengadakan pengajian, yang diikuti sekitar 60 orang. Muniroh menjadi guru ngaji bersama adik dan adik iparnya. Sejak lama Muniroh memang sering terlibat dalam berbagai kegiatan sosial.

 

Kekuatan Cinta Kasih

Rumah susun 6 lantai yang diresmikan tanggal 16 Juli 2005 oleh Gubernur DKI Sutiyoso tersebut terdiri dari 7 blok yang terdiri dari 600 unit dan menempati areal seluas 19.200 m 2 . Rumah susun juga dilengkapi dengan mushola, fasilitas pengolahan air bersih, dan listrik PLN 900 Watt. Rumah susun ini dibangun bagi para nelayan yang tinggal di pinggiran Kali Adem yang menjadi korban pengusuran. Hanya warga yang memiliki KTP DKI Jakarta yang berhak mendapatkannya. Hingga Oktober 2005, 393 KK telah menempati rumah susun tersebut.

Pembangunan perumahan ini memakan biaya yang tidak sedikit. Seperti pembangunan Perumahan Cinta Kasih pertama di Cengkareng, pembiayaan pembangunan Perumahan Cinta Kasih Muara Angke tidak ditanggung oleh hanya sekelompok orang berduit, melainkan dikumpulkan dari berbagai lapisan masyarakat, salah satunya melalui bazar yang terbuka untuk umum. “Ini adalah bukti dari kekuatan cinta kasih,” seru Gery Ho, perwakilan Tzu Chi Internasional.

Membangun Perumahan Cinta Kasih bagi para nelayan eks warga bantaran Kali Adem dengan tujuan utama menebar cinta kasih di antara mereka bagaikan mendaki tebing terjal. Cinta kasih harus berhadapan dengan musuh klasik, yaitu kekerasan. Hidup sebagai nelayan telah membentuk watak mereka menjadi manusia-manusia yang keras. Hal ini juga diakui oleh Muniroh. Menurutnya, warga Perumahan Cinta Kasih Muara Angke mayoritas memang berwatak keras. Sebagai orang yang cukup disegani di perumahan tersebut, ia sering berhadapan dengan warga dalam berbagai situasi. “Kalau dia kasar harus dihadapi dengan kasar juga. Saya juga bisa kasar,” Muniroh menambahkan, “Tapi sesudahnya saya minta maaf.”

“Menterjemahkan cinta kasih di sini tidak mudah. Mereka terbiasa main pukul, main keras; baru bisa masuk ke mereka jika dengan pendekatan personal,” ungkap Agung, salah satu pengelola perumahan tersebut. Ia memberi contoh, “ Ada seorang warga yang berjualan, lapaknya tidak rapi. Saya mengajaknya berdialog langsung tentang keluhannya sehingga tercapai jalan keluarnya.” Kehadiran Perumahan Cinta Kasih di tengah-tengah kerasnya hidup Muara Angke bagaikan oase cinta kasih yang memberikan kesejukan. • Sutar

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id